Kisah Halis, Sukses Sulap Rawa Jadi Wisata di Ternate

Pariwisata

KBRN, Ternate: Pantai Masirete, sebuah surga tersembunyi di tengah pantai yang dulunya terbengkalai dan dilanda abrasi, kini telah bertransformasi menjadi destinasi wisata menakjubkan berada di Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate, Maluku Utara.

Namun, dibalik pesona hamparan pasir putih dan pancaran senja di sore hari memikat, terdapat seorang pria tangguh. Halis Muhammad Nur (53 tahun) pengelola wisata telah menjadikan pantai ini sebagai warisan berharga.

Penamaan objek wisata dari  bahasa daerah Ternate yakni Masirete diartikan sebagai milik sendiri. Pantai ini benar-benar menjadi milik Halis Muhammad Nur.  Masirete bukan hanya sekedar nama melainkan cerminan dari semangat dan dedikasinya dalam membangun wisata dengan ukuran  panjang lahan sekitar 73 meter dan lebar 38 meter.

Segalanya dimulai pada tahun 2019 lalu. Ketika lahan milik orang tuanya ini masih dalam keadaan tanah basah selalu digenangi air dan rawan abrasi. Halis tidak gentar menghadapi tantangan tersebut. Dengan penuh kesabaran dan kerja keras, dia mulai merintis usahanya dengan membangun rumah kayu sederhana yang selalu berpindah-pindah mengikuti pola abrasi pantai.

Proses pembangunan wisata tidaklah mudah. Halis harus menggunakan bahan-bahan seadanya, seperti ranting, sabut kelapa, dan karang laut untuk menimbun area pantai. Selama delapan bulan, Halis didampingi sang istri bekerja keras tanpa henti, hingga akhirnya pantai ini bertransformasi menjadi destinasi wisata memukau.

Dengan modal awal dan membangun rumah sederhana sekitar Rp5 juta, dia berhasil memulai usahanya. Meskipun pada awalnya pengunjung belum begitu banyak, namun ia tidak pernah menyerah. 

“Pada tahun 2021 pantai ini mulai mendapatkan perhatian dari fotografer dan pesona Indonesia, dalam sehari serta dihitung dengan orang camping itu bisa dapat Rp3 juta,” kata Halis kepada rri.co.id, Jumat (26/4/2024).

Tetapi, perjalanan itu tak selalu mulus pada tahun 2022, pantai Masirete mengalami kerusakan parah akibat abrasi. 

Namun, ia tidak menyerah di tengah badai. Dengan tekad yang kuat, dia kembali beraksi dengan membersihkan pantai selama tiga bulan penuh, bahkan menggunakan excavator mini selama enam jam sehari untuk memperbaiki kerusakan.

“Wisata ini sempat rusak total akibat ombak dan hampir setiap hari saya selalu di lokasi. Kalau dulu saya siapkan hammock, cuman  barang sewaan itu kadang rusak makanya saya tidak mau tambakan stok lagi,” tuturnya.

Komitmen Halis terhadap pantai Masirete tidak pernah pudar. Meskipun menghadapi kendala seperti kerusakan perlengkapan sewa, dia tetap bertekad untuk menjaga dan merawat pantai.

“Pernah dari Dinas Pariwisata masuk untuk menambah fasilitas seperti gajebo. Saya bilang ke pantai ini disiapkan untuk camping jadi penambahan maka mempersempit area, biarkan saya kelola begini sudah,” ucapnya.

Dia bercerita dengan wajah memerah bahwa ada kesan sendiri dimana ada warga setempat menilai dirinya tidak waras ketika mengelola wisata. 

“Sampai orang kampung bilang saya ini gila, rawa-rawa lalu dibuat pariwisata dan ketika wisata mulai aktif ada yang tawar Rp700 juta, saya hanya pikir pesan nenek jangan dijual sekalipun kondisi seperti apa nanti,” katanya.

Dia menambahkan, tidak ada biaya parkiran dan tiket masuk. Hanya saja, dikenakan saat wisatawan berkunjung dengan memakai tempat.

“Orang masuk dengan keluarga untuk piknik bawa makanan, hitungan memakai tempat kalau sudah dibayar bebas kamar mandi. Sering saya ingatkan ke pengunjung lebih baik ngoni (kalian,red) hambur sampah biar saya mudah bersihkan daripada melakukan zina itu sesuatu tidak bisa dihilangkan dengan air,” ujarnya. (Sofyan Togubu).

Sumber : RRI.co.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *